Minggu, 01 Maret 2015

DENDAM KANIA



Senja merah jingga kian menguasai langit. Mataharipun merayap dengan pasti menyembunyikan diri dibalik cakrawala. Hari semakin larut tapi Kania masih bertahan di pantai Kartini dengan segala gundahnya. Siapa yang sangka ikatan cintanya dengan Putra yang sudah terjalin sembilan tahun harus pupus ditengah jalan. Padahal impian mereka untuk merangkai hidup bersama dalam sebuah perkawinan sudah mantap. Kedua orang tua mereka sudah menyetujui hubungan mereka. Tinggal selangkah lagi mereka berdua melaluinya. Disaat Kania sudah hampir menyelesaikan kuliahnya, yang selama ini menjadi hambatan untuk melangsungkan perkawinan mereka Putra malah berpaling.
Kania masih ingat betapa bahagianya Putra waktu itu, saat Kania menganggukkan kepalanya tanda menerima cinta Putra.
“Terima kasih Kania, aku janji nggak bakal bikin kamu kecewa” janji Putra waktu itu. Kania hanya bisa tersenyum. Dia yakin Putra tak akan meninggalkannya seperti Panji, mantan kekasihnya yang dulu meninggalkannya karena kecelakaan maut. Dan dia juga  yakin, Putra akan selalu menjaganya seperti Panji menjaganya.
Matahari kian menghilang, dan gelappun semakin  rakus memeluk bumi. Tapi Kania masih tetap belum beranjak. Sampai tiba-tiba sebuah suara memanggil-manggil namanya.
“Kania….Kania…..”
Kania berpaling, didapatinya Siren, sahabatnya berlari-lari kecil.
“Kania…..  pulang  yuk !”  ajak Siren begitu sampai di depan Kania. Shiren mencoba mengatur nafas yang ngos-ngosan “Ayah dan ibu  kamu nyariin kamu terus. Ayo pulang, jangan bikin orang tua kamu khawatir dong !” 

 
Kania berdiri, ditatapnya laut sekali lagi. Dia berharap setelah dia pulang dari Pantai Kartini, nama Putra sudah terhapus dari hatinya.
“Kania, aku tahu perasaanmu. Kamu jangan marah sama ayah dan ibu kamu karena tidak memberitahu masalah ini. Mereka tidak ingin kuliah kamu terganggu” hibur Siren.
“Aku tidak apa-apa kok Ren” Kata Kania berusaha tegar. Tapi mata Kania  tidak bisa berbohong. Mengingat Putra tak terasa bulir-bulir bening itu  kembali mengalir.
“Sudah Kania, Putra memang tidak pantas untuk kamu. Aku yakin suatu saat kamu akan menemukan cowok yang lebih dari Putra” hibur Shiren. Diraihnya  Kania dalam pelukannya. “Menangislah Kania, menangislah”
“Tidak Ren” Sahut Kania. Diusap air matanya “Airmataku terlalu berharga untuk seorang pengecut seperti Putra” Kania tidak mau semua orang  kasihan padanya.
“Aku tahu Kania, kamu adalah gadis yang tegar”
Mereka berdua meninggalkan Pantai Kartini  dengan pikiran masing-masing.
“Nak, kamu bisa melanjutkan kuliah lagi kalau kamu mau. Biar nanti sawah bapak yang dekat sungai dijual saja”
“Tidak usah Pak, biar Kania di sini saja. Kania ingin mengabdi di Sekolah” Kania tahu kalau bapaknya ingin membuat dia melupakan semua kekecewaannya terhadap Putra. Tapi Kania punya cara sendiri untuk menghapus kekecewaannya.
Putra, pria yang sangat dia cintai memilih menikah dengan wanita lain dengan memutuskan pertunangan secara sepihak. Disaat dia dan keluarganya berbenah menyambut hari yang sangat membahagiakan. Tanggal pernikahan sudah ditentukan.
“Mas Putra, nanti Kania pulangnya satu hari sebelum akad nikah aja ya ? soalnya Kania musti ngedit skripsi dulu”
“Ndak apa-apa Dik, biar nanti Mas Putra jemput adik di terminal”
Satu jam, dua jam Kania menunggu tapi Putra tidak juga datang. Hingga hampir jam delapan malam Putra tidak juga datang. Hati Kania diliputi resah, apa yang terjadi ? kemana Mas Putra ? kenapa tidak jadi menjemputnya ?
Dengan tergesa Kania memasuki halaman rumahnya. Dilihatnya Ibu, Bapak dan saudara-saudaranya berkumpul di ruang tamu. Guratan kekecewaan terlihat jelas dimata mereka. Tiba-tiba saja hati Kania bergetar, adakah hubungannya dengan mas Putra yang tidak menjemputnya ?
Kania menyalami Ibu dan Bapaknya dengan takzim, berlanjut ke saudara-saudaranya.
“Nak, makan dulu sana, ibu sudah menyiapkan nasi uduk kesukaan kamu. Habis itu nanti kamu mandi ya !” Perintah Ibunnya
Kania menuruti kata-kata ibunya. Tapi dia memilih mandi dulu. Diambilnya handuk dan peralatan mandinya dari dalam tas ransel yang sejak tadi berada dipunggunya. Selesai mandi Kania mengambil sepiring nasi uduk beserta lauknya. Dibawanya ke ruang keluarga tempat ibu, Bapak dan saudara-saudaranya berkumpul.
Monggo Bu, Pak, Bulek, semua, Kania makan dulu ya !”  tawar Kania kepada seisi ruangan.
“Iya Nduk, diwareki mangane
Kania makan dengan lahap. Sejenak dilupakannya keresahan mengapa tunangannya lupa menjemputnya. Sejenak juga dilupakannya kenapa raut wajah keluarga dan saudara-saudaranya terlihat kecewa. Setelah makan Kania bergabung dengan keluarganya.
“Pak, apa mas Putra tadi kesini ?
“E….E…tidak Nduk, memangnya ada apa tho Nduk ?”
“Tadi Mas Putra kok tidak menjemput Kania, padahal dia sudah janji mau menjemput Kania jam empat sore di terminal”
“Kania anakku, sabar yo Nduk…..” Pak Warto tidak sanggup melanjutkan perkataannya. Disampingnya Bu Warto sudah menangis sesenggukkan. Kania bingung apa yang terjadi, kenapa Ibunya menangis, kenapa pula bapaknya terlihat bingung. Hatinya makin gelisah, apa yang terjadi dengan Mas Putra ? apakah Mas Putra kecelakaan ? Hatinya diliputi berbagai sangkaan.
“Ada apa pak ?”
“Putra dinikahkan dengan wanita lain”
Dunia seakan menjadi gelap. Mata Kania berkunang-kunang. Kepalanya seakan tertimpa berpuluh-puluh beton. Hingga akhirnya Kania pingsan tak sadarkan diri.
“Kania, Kania…” panggil bapaknya
“Eh Iya pak, ada apa ?” lamunan Kania buyar demi mendengar suara bapaknya.
“Kok melamun tho Nduk, mikir siapa ?’
“Ah enggak Pak, besok Kania sudah mulai masuk ke SDN Karangsari jadi ya musti dipersiapkan semuanya. Kania masuk kamar dulu ya Pak” Kania tidak mau terlihat sedih dihadapan bapaknya. Dan dia tahu cara membuat rasa kecewa dan sakit hatinya terbalas.
Pagi telah datang. Harum bunga yang semalam mekar menyisakan bau wangi yang semerbak. Gerimis yang turun tadi malam juga turut andil menyegarkan suasana pagi ini. Jendela kamar Kania pelan-pelan terkuak. Kania menggeliat sambil menghirup udara dalam-dalam.
“Selamat pagi duniaku, sambutlah aku dengan dendamku. Mas Putra tunggu pembalasanku” Bisik Kania. Hatinya telah diliputi dendam. Cintanya telah berbalik seratus delapan puluh derajat. Cinta yang begitu lembut berubah jadi dendam yang membara, siap membakar dan menghancurkan siapa saja yang bakal menghalanginya. Dendam yang muncul karena kekecewaan yang teramat sangat.
“Eh, mbak Kania, mari masuk” Sambut guru-guru di SD Karangsari ramah, tapi bagaimanapun para guru-guru itu menyembunyikan rasa kasihannya, Kania tetap bisa merasakan dari tatapan para guru-guru itu. Maklum namanya juga desa, berita pacaran hingga tanggal pernikahan Kania dan Putra sudah menyebar kemana-mana. Dan tatapan itu makin membuat dendamnya membara. Mas Putra, tunggu pembalasanku.
Dan dimulailah semuanya. Dengan berdalih tetap mengikat tali silaturahmi, Kania berkunjung ke rumah Putra. Ditekannya perasaannya kuat-kuat,  dibuat semuanya senetral mungkin. Melihat cara Putra menatapnya, dia yakin semuanya akan berjalan lancar.
“Nak, maafkan keluarga Ibu yang sudah melukai perasaan keluarga kamu, terutama hati kamu” Sambut Ibu Putra penuh nada penyesalan.
Kania tersenyum. “Tidak apa-apa Bu, nanti juga semua rasa sakit aku akan terbalas” kata Kania, dan tentu saja hanya didalam hati.
Semua berjalan sesuai rencana, sekarang tiba saatnya dia jerat kembali hati Putra. Dengan bertopeng persahabatan dan tali silaturahmi, Kania semakin masuk kedalam rumah tangga Putra. Semakin hari dia sudah berani mengajak Putra janjian, berdalih minta bantuan, semakin hari semakin dekat saja. Dan rupanya Putra yang dasarnya masih menyimpan rasa cintanya buat Kania makin terusik untuk kembali ke masa lalunya.
“Maafkan Mas Putra Dik, dulu mas putra khilaf sudah meninggalkan kamu. Mas Putra tidak bisa menahan godaan dari Yanti. Dan  Kalo saja tidak terjerumus mungkin sekarang mas jadi orang paling beruntung sedunia karena bisa menikah dengan gadis sebaik dan secantik kamu”
“Sudahlah Mas, semua sudah berjalan. Toh sekarang ada Yanti sebagai pendamping Mas Putra.”
“Yanti itu bawel. Suka menuntut ini dan itu. Lain dengan kamu, yang selalu menurut dan satu lagi, Yanti tidak secantik kamu” Bisik Putra sambil mengelus pelan pipi Kania.
Kania tersenyum, hatinya bungah, mangsanya sudah masuk kedalam perangkapnya. Tinggal selangkah lagi dia bisa menuntaskan semuanya. Tinggal selangkah lagi Putra akan jatuh dan terkoyak hatinya dan tinggal selangkah lagi dendamnya akan terlaksana. Rasa sakit hatinya akan terbalas.
Semakin lama Putra semakin tenggelam dalam telaga asmara buatan Kania. Hingga dia tak mampu dan sanggup untuk keluar darinya. Hingga akhirnya dia menyerah dan  takluk kepada Kania.
“Kania, sungguh aku tak mampu lagi hidup tanpa kamu. Maukah kau jadi kekasihku lagi” Parau suara Putra. Seakan dia benar-benar tak sanggup lagi menahan semua hasratnya untuk memiliki Kania.
“Tapi bagaimana dengan Yanti Mas ?”
“Akan saya ceraikan”
Dan kemelut keluarga Putra  telah mulai, Putra tidak mengindahkan Yanti yang menangis di telapak kakinya. Dia juga sudah tidak mempedulikan lagi istrinya yang sedang  hamil muda. Dia sudah buta akan Kania.
“Apa salahku Mas” terisak-isak Yanti memegangi kaki suaminya
“Aku tidak mencintaimu” suara menggelegar memenuhi seluruh ruangan.
“Dan aku minta  kamu menandatangani surat ini” selembar surat melayang menampar muka Yanti. Seakan sia-sia sudah Yanti membujuk suaminya, seakan harapannya sudah runtuh, rumah tangganya sudah hancur. Yanti tergugu. Hingga akhirnya dia memilih jalan yang mungkin sama dipilih oleh sebagian perempuan di dunia ini jika berada pada posisinya.
Keesokan harinya, semua koran terbitan lokal memberitakan “CEKCOK, WANITA HAMIL MEMILIH BUNUH DIRI” yang menjadi deadline. Kania yang pagi itu membaca koran tersenyum puas. Separuh dendamnya sudah terbalas. Sekarang tinggal menunggu waktu untuk menuntaskan dendamnya.”Mas Putra, inilah balasan karena kau telah berani menyakiti hatiku”
Sedikit demi sedikit rencananya mulai dijalankan. Dia semakin ekstrim menguasai hati Putra. Dibuatnya mabuk kepayang, hingga benar-benar masuk kedalam perangkapnya.
“Kania, besok orang tuaku datang melamarmu. Kamu mau kan jadi istriku”
“Mas, sabar dulu. Ini masih dalam suasana bergabung. Aku takut dituduh merusak rumah tangga orang lain. Nanti setelah seratus harinya baru mas boleh melamarku. Aku janji pasti aku mau”
Tapi janji itu tidak pernah ditepati, karena tepat seratus hari meninggalnya Yanti, disaat Putra dan keluarganya datang melamar Kania, rumah Kania telah lebih dulu didatangi laki-laki dari kota untuk melamar Kania. Putra hancur, kecewa dan marah.
“Kania….apa-apaan ini ?” Amarahnya sudah tidak bisa dibendung lagi, Putra benar-benar marah
“Ada apa Mas Putra” Jawab Kania dengan suara kalem. Inilah yang dia mau, dan sekaranglah dendamnya terwujud. Tapi dia tidak akan memperlihatkan kebahagiaanya, dia harus tetap bersandiwara agar semua orang tidak tahu kalau dialah penyebab hancurnya rumah tangga Putra, dan dialah yang telah menggoda Putra hingga Yanti memilih bunuh diri.
“Mana janjimu. Kenapa kau mau dilamar  laki-laki brengsek ini”  tundingnya pada laki-laki tampan disebelah Kania.
“Mas Putra, yang sabar ya ! ini memang pacar Kania. Mas Putra kan sudah memilih Yanti dan saya terima. Sekarang biarkan saya memilih Mas Rudi sebagai pendampung hidup Kania” Kalem suara Kania mampu membuat orang-orang yang berkumpul semakin menarik simpatik buat dia. Sebagai gadis yang sudah dikhianati, tetapi masih mau menjalin tali kekeluargaan dengan mantan kekasihnya dan sekarang mantan kekasihnya marah-marah dirumahnya, dia tetap bersabar. Orang-orangpun berpikir Putra depresi karena ditinggal mati istrinya apalagi  sekarang mantan kekasihnya akan menikah dengan laki-laki lain. Tatapan kasihan yang diterima Putra makin membuat Putra kalap. Apalagi Kania seolah-olah tak mengetahui kalau dia dan keluarganya akan melamar.
“Dasar Perempuan binal, penipu” Putra kalap, diserangnya lelaki disamping Kania, tapi dengan sigap orang-orang menahannya.
“Bawa dia pergi dari sini” teriak Bapak Kania
Segerombol orang maju membantu menyeret Putra keluar.  
“Kasihan, anak itu bisa jadi gila”
“Dia benar-benar depresi”
“Dia jadi korban ayahnya  yang tamak. Kalau saja dulu dia tidak dinikahkan dengan Yanti perawan tua yang kaya itu”
Bisik-bisik orang-orang yang di ruang itu  makin membuat Kania bungah. Dendamnya sudah terlaksana tanpa satu orangpun yang tahu bahwa inilah  yang diinginkannya.
Dan keesok harinya, deadline koran lokal kembali membuat Kania puas, “STRES BERAT DITINGGAL MATI ISTRINYA, SEORANG LAKI-LAKI  DIPASUNG”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar