Senja merah jingga kian
menguasai langit. Mataharipun merayap dengan pasti menyembunyikan diri dibalik
cakrawala. Hari semakin larut tapi Kania masih bertahan di pantai Kartini
dengan segala gundahnya. Siapa yang sangka ikatan cintanya dengan Putra yang
sudah terjalin sembilan tahun harus pupus ditengah jalan. Padahal impian mereka
untuk merangkai hidup bersama dalam sebuah perkawinan sudah mantap. Kedua orang
tua mereka sudah menyetujui hubungan mereka. Tinggal selangkah lagi mereka
berdua melaluinya. Disaat Kania sudah hampir menyelesaikan kuliahnya, yang
selama ini menjadi hambatan untuk melangsungkan perkawinan mereka Putra malah
berpaling.
Kania masih ingat betapa
bahagianya Putra waktu itu, saat Kania menganggukkan kepalanya tanda menerima
cinta Putra.
“Terima kasih Kania, aku janji
nggak bakal bikin kamu kecewa” janji Putra waktu itu. Kania hanya bisa
tersenyum. Dia yakin Putra tak akan meninggalkannya seperti Panji, mantan kekasihnya
yang dulu meninggalkannya karena kecelakaan maut. Dan dia juga yakin, Putra akan selalu menjaganya seperti
Panji menjaganya.
Matahari kian menghilang, dan
gelappun semakin rakus memeluk bumi.
Tapi Kania masih tetap belum beranjak. Sampai tiba-tiba sebuah suara
memanggil-manggil namanya.
“Kania….Kania…..”
Kania berpaling, didapatinya Siren, sahabatnya
berlari-lari kecil.
“Kania…..
pulang yuk !” ajak Siren begitu sampai di depan Kania. Shiren
mencoba mengatur nafas yang ngos-ngosan “Ayah dan ibu kamu nyariin kamu terus. Ayo pulang, jangan
bikin orang tua kamu khawatir dong !”
Kania berdiri, ditatapnya laut sekali lagi. Dia berharap setelah dia pulang dari
Pantai Kartini, nama Putra sudah terhapus dari hatinya.
“Kania, aku tahu perasaanmu.
Kamu jangan marah sama ayah dan ibu kamu karena tidak memberitahu masalah ini.
Mereka tidak ingin kuliah kamu terganggu” hibur Siren.
“Aku tidak apa-apa kok Ren” Kata
Kania berusaha tegar. Tapi mata Kania
tidak bisa berbohong. Mengingat Putra tak terasa
bulir-bulir bening itu kembali mengalir.
“Sudah Kania, Putra memang tidak
pantas untuk kamu. Aku yakin suatu saat kamu akan menemukan cowok yang lebih
dari Putra” hibur Shiren. Diraihnya Kania dalam pelukannya. “Menangislah Kania,
menangislah”
“Tidak Ren” Sahut Kania. Diusap air matanya “Airmataku
terlalu berharga untuk seorang pengecut seperti Putra” Kania tidak mau semua
orang kasihan padanya.
“Aku tahu Kania, kamu adalah
gadis yang tegar”
Mereka berdua meninggalkan
Pantai Kartini dengan pikiran masing-masing.
“Nak, kamu bisa melanjutkan
kuliah lagi kalau kamu mau. Biar nanti sawah bapak yang
dekat sungai dijual saja”
“Tidak usah Pak, biar Kania di
sini saja. Kania ingin mengabdi di Sekolah” Kania tahu kalau bapaknya ingin
membuat dia melupakan semua kekecewaannya terhadap Putra. Tapi Kania punya cara
sendiri untuk menghapus kekecewaannya.
Putra, pria yang sangat dia
cintai memilih menikah dengan wanita lain dengan memutuskan pertunangan secara
sepihak. Disaat dia dan keluarganya berbenah menyambut hari yang sangat
membahagiakan. Tanggal pernikahan sudah ditentukan.
“Mas Putra, nanti Kania
pulangnya satu hari sebelum akad nikah aja ya ? soalnya Kania musti ngedit
skripsi dulu”
“Ndak apa-apa Dik, biar nanti Mas Putra jemput adik di
terminal”
Satu jam, dua jam Kania
menunggu tapi Putra tidak juga datang. Hingga hampir jam
delapan malam Putra tidak juga datang. Hati Kania diliputi resah, apa yang terjadi ? kemana Mas Putra ? kenapa tidak
jadi menjemputnya ?
Dengan tergesa Kania memasuki
halaman rumahnya. Dilihatnya Ibu, Bapak dan saudara-saudaranya berkumpul di
ruang tamu. Guratan kekecewaan terlihat jelas dimata mereka. Tiba-tiba saja
hati Kania bergetar, adakah hubungannya dengan mas Putra yang tidak menjemputnya
?
Kania menyalami Ibu dan
Bapaknya dengan takzim, berlanjut ke saudara-saudaranya.
“Nak, makan dulu sana, ibu
sudah menyiapkan nasi uduk kesukaan kamu. Habis itu
nanti kamu mandi ya !” Perintah Ibunnya
Kania menuruti kata-kata
ibunya. Tapi dia memilih mandi dulu. Diambilnya handuk dan peralatan mandinya
dari dalam tas ransel yang sejak tadi berada dipunggunya. Selesai mandi Kania
mengambil sepiring nasi uduk beserta lauknya. Dibawanya ke ruang keluarga
tempat ibu, Bapak dan saudara-saudaranya berkumpul.
“Monggo Bu, Pak, Bulek, semua, Kania makan dulu ya !” tawar Kania kepada seisi ruangan.
“Iya Nduk, diwareki mangane”
Kania makan dengan lahap. Sejenak
dilupakannya keresahan mengapa tunangannya lupa menjemputnya. Sejenak juga
dilupakannya kenapa raut wajah keluarga dan saudara-saudaranya terlihat kecewa.
Setelah makan Kania bergabung dengan keluarganya.
“Pak, apa mas Putra tadi
kesini ?
“E….E…tidak Nduk,
memangnya ada apa tho Nduk ?”
“Tadi Mas Putra kok tidak
menjemput Kania, padahal dia sudah janji mau menjemput Kania jam empat sore di
terminal”
“Kania anakku, sabar yo
Nduk…..” Pak Warto tidak sanggup melanjutkan perkataannya. Disampingnya Bu
Warto sudah menangis sesenggukkan. Kania bingung apa yang terjadi, kenapa Ibunya
menangis, kenapa pula bapaknya terlihat bingung. Hatinya makin gelisah, apa
yang terjadi dengan Mas Putra ? apakah Mas Putra kecelakaan ? Hatinya diliputi
berbagai sangkaan.
“Ada apa pak ?”
“Putra dinikahkan dengan
wanita lain”
Dunia seakan menjadi gelap.
Mata Kania berkunang-kunang. Kepalanya seakan tertimpa
berpuluh-puluh beton. Hingga
akhirnya Kania pingsan tak sadarkan diri.
“Kania, Kania…” panggil
bapaknya
“Eh Iya pak, ada apa ?” lamunan
Kania buyar demi mendengar suara bapaknya.
“Kok melamun tho Nduk, mikir siapa ?’
“Ah enggak Pak, besok Kania sudah mulai masuk ke SDN Karangsari
jadi ya musti dipersiapkan semuanya. Kania masuk kamar dulu ya Pak” Kania tidak
mau terlihat sedih dihadapan bapaknya. Dan dia tahu cara membuat rasa kecewa dan sakit hatinya terbalas.
Pagi telah datang. Harum bunga
yang semalam mekar menyisakan bau wangi yang semerbak. Gerimis yang turun tadi
malam juga turut andil menyegarkan suasana pagi ini. Jendela kamar Kania
pelan-pelan terkuak. Kania menggeliat sambil menghirup udara dalam-dalam.
“Selamat pagi duniaku, sambutlah aku dengan dendamku. Mas Putra tunggu pembalasanku” Bisik
Kania. Hatinya telah diliputi dendam. Cintanya telah
berbalik seratus delapan puluh derajat. Cinta yang begitu lembut berubah jadi
dendam yang membara, siap membakar dan menghancurkan siapa saja yang bakal
menghalanginya. Dendam yang muncul karena kekecewaan yang teramat sangat.
“Eh, mbak Kania, mari masuk” Sambut guru-guru di SD
Karangsari ramah, tapi bagaimanapun para guru-guru itu menyembunyikan rasa
kasihannya, Kania tetap bisa merasakan dari tatapan para guru-guru itu. Maklum namanya juga desa, berita pacaran
hingga tanggal pernikahan Kania dan Putra sudah menyebar kemana-mana. Dan tatapan itu makin membuat dendamnya membara. Mas Putra, tunggu pembalasanku.
Dan dimulailah semuanya. Dengan berdalih tetap mengikat
tali silaturahmi, Kania berkunjung ke rumah Putra. Ditekannya perasaannya kuat-kuat, dibuat semuanya senetral mungkin. Melihat cara
Putra menatapnya, dia yakin semuanya akan berjalan lancar.
“Nak, maafkan keluarga Ibu yang sudah melukai perasaan
keluarga kamu, terutama hati kamu” Sambut Ibu Putra penuh nada penyesalan.
Kania tersenyum. “Tidak
apa-apa Bu, nanti juga semua rasa sakit aku akan terbalas” kata Kania, dan
tentu saja hanya didalam hati.
Semua berjalan sesuai rencana,
sekarang tiba saatnya dia jerat kembali hati Putra. Dengan bertopeng persahabatan
dan tali silaturahmi, Kania semakin masuk kedalam rumah tangga Putra. Semakin
hari dia sudah berani mengajak Putra janjian, berdalih minta bantuan, semakin
hari semakin dekat saja. Dan rupanya Putra yang dasarnya masih menyimpan rasa
cintanya buat Kania makin terusik untuk kembali ke masa lalunya.
“Maafkan Mas Putra Dik, dulu
mas putra khilaf sudah meninggalkan kamu. Mas Putra tidak bisa menahan godaan dari
Yanti. Dan Kalo saja tidak terjerumus
mungkin sekarang mas jadi orang paling beruntung sedunia karena bisa menikah
dengan gadis sebaik dan secantik kamu”
“Sudahlah Mas, semua sudah
berjalan. Toh sekarang ada Yanti sebagai pendamping Mas Putra.”
“Yanti itu bawel. Suka
menuntut ini dan itu. Lain dengan kamu, yang selalu menurut dan satu lagi,
Yanti tidak secantik kamu” Bisik Putra sambil mengelus pelan pipi Kania.
Kania tersenyum, hatinya bungah, mangsanya sudah masuk
kedalam perangkapnya. Tinggal selangkah lagi dia bisa menuntaskan semuanya.
Tinggal selangkah lagi Putra akan jatuh dan terkoyak hatinya dan tinggal
selangkah lagi dendamnya akan terlaksana. Rasa sakit hatinya akan terbalas.
Semakin lama Putra semakin
tenggelam dalam telaga asmara buatan Kania. Hingga dia tak mampu dan sanggup untuk
keluar darinya. Hingga akhirnya dia menyerah dan takluk kepada Kania.
“Kania, sungguh aku tak mampu
lagi hidup tanpa kamu. Maukah kau jadi kekasihku lagi” Parau suara Putra.
Seakan dia benar-benar tak sanggup lagi menahan semua hasratnya untuk memiliki
Kania.
“Tapi bagaimana dengan Yanti
Mas ?”
“Akan saya ceraikan”
Dan kemelut keluarga Putra telah mulai, Putra tidak mengindahkan Yanti
yang menangis di telapak kakinya. Dia juga sudah tidak
mempedulikan lagi istrinya yang sedang
hamil muda. Dia sudah
buta akan Kania.
“Apa salahku Mas” terisak-isak
Yanti memegangi kaki suaminya
“Aku tidak mencintaimu” suara menggelegar memenuhi
seluruh ruangan.
“Dan aku minta kamu menandatangani surat ini” selembar surat
melayang menampar muka Yanti. Seakan sia-sia sudah Yanti membujuk suaminya, seakan
harapannya sudah runtuh, rumah tangganya sudah hancur. Yanti tergugu. Hingga
akhirnya dia memilih jalan yang mungkin sama dipilih oleh sebagian perempuan di
dunia ini jika berada pada posisinya.
Keesokan harinya, semua koran
terbitan lokal memberitakan “CEKCOK, WANITA HAMIL MEMILIH BUNUH DIRI” yang
menjadi deadline. Kania yang pagi itu membaca koran
tersenyum puas. Separuh dendamnya sudah terbalas. Sekarang tinggal menunggu
waktu untuk menuntaskan dendamnya.”Mas Putra, inilah balasan karena kau telah
berani menyakiti hatiku”
Sedikit demi sedikit rencananya
mulai dijalankan. Dia semakin ekstrim menguasai hati Putra. Dibuatnya mabuk
kepayang, hingga benar-benar masuk kedalam perangkapnya.
“Kania, besok orang tuaku
datang melamarmu. Kamu mau kan jadi istriku”
“Mas, sabar dulu. Ini masih dalam suasana bergabung. Aku
takut dituduh merusak rumah tangga orang lain. Nanti setelah seratus harinya
baru mas boleh melamarku. Aku janji pasti aku mau”
Tapi janji itu tidak pernah ditepati, karena tepat
seratus hari meninggalnya Yanti, disaat Putra dan keluarganya datang melamar
Kania, rumah Kania telah lebih dulu didatangi laki-laki dari kota untuk melamar
Kania. Putra hancur, kecewa dan marah.
“Kania….apa-apaan ini ?” Amarahnya sudah tidak bisa
dibendung lagi, Putra benar-benar marah
“Ada
apa Mas Putra” Jawab Kania dengan suara kalem. Inilah yang dia mau, dan
sekaranglah dendamnya terwujud. Tapi dia tidak akan memperlihatkan
kebahagiaanya, dia harus tetap bersandiwara agar semua orang tidak tahu kalau
dialah penyebab hancurnya rumah tangga Putra, dan dialah yang telah menggoda Putra
hingga Yanti memilih bunuh diri.
“Mana janjimu. Kenapa kau mau
dilamar laki-laki brengsek ini” tundingnya pada laki-laki tampan disebelah
Kania.
“Mas Putra, yang sabar ya ! ini memang pacar Kania. Mas Putra kan sudah memilih Yanti dan saya
terima. Sekarang biarkan saya memilih Mas Rudi sebagai pendampung hidup Kania”
Kalem suara Kania mampu membuat orang-orang yang berkumpul semakin menarik
simpatik buat dia. Sebagai gadis yang sudah dikhianati, tetapi masih mau
menjalin tali kekeluargaan dengan mantan kekasihnya dan sekarang mantan
kekasihnya marah-marah dirumahnya, dia tetap bersabar. Orang-orangpun berpikir
Putra depresi karena ditinggal mati istrinya apalagi sekarang mantan kekasihnya akan menikah
dengan laki-laki lain. Tatapan kasihan yang diterima Putra makin membuat Putra
kalap. Apalagi Kania seolah-olah tak mengetahui kalau dia dan keluarganya akan
melamar.
“Dasar Perempuan binal, penipu”
Putra kalap, diserangnya lelaki disamping Kania, tapi dengan sigap orang-orang
menahannya.
“Bawa dia pergi dari sini”
teriak Bapak Kania
Segerombol orang maju membantu
menyeret Putra keluar.
“Kasihan, anak itu bisa jadi
gila”
“Dia benar-benar depresi”
“Dia jadi korban ayahnya yang tamak. Kalau saja dulu dia tidak
dinikahkan dengan Yanti perawan tua yang kaya itu”
Bisik-bisik orang-orang yang di ruang itu makin membuat Kania bungah. Dendamnya sudah
terlaksana tanpa satu orangpun yang tahu bahwa inilah yang diinginkannya.
Dan keesok harinya, deadline koran lokal kembali membuat
Kania puas, “STRES BERAT DITINGGAL MATI ISTRINYA, SEORANG LAKI-LAKI DIPASUNG”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar